Bermodalkan Rp 2000 Anak Akses Situs Porno

Bermodalkan Rp 2000 Anak Akses Situs Porno DEPOK (Pos Kota) – Internet menjangkau khalayak luas dan heterogen. Kehadiran internet yang tanpa batas tak hanya bisa dikonsumsi oleh orang dewasa, anak-anak (child) pun dapat bebas berselancar di dunia maya tanpa ruang yang terbatas. Ratusan bahkan ribuan situs bisa dijelajah kapan saja dan di mana saja. Internet di kalangan anak-anak bak pisau bermata dua yang kehadirannya bisa berimbas positif atau negatif terhadap psikologis si anak.

Ironisnya, fenomena sekarang cenderung berimbas negatif atas kehadiran internet bagi anak-anak. Ratusan bahkan ribuan situs porno yang tersaji saat mereka tengah online (OL) bebas mereka akses. “Hanya bermodalkan uang Rp 2000, anak-anak bisa mengakses situs porno di warnet. Kondisi ini jelas memprihatinkan,” ujar Nenden Esty Nurhayati dari Yayasan Kita dan Buah Hati dalam seminar bertema Online Child Pornography yang digelar di Fakultas Ilmus Sosial dan Politik (Fisip) UI, Depok, Kamis (15/3).

Fakta di mana anak menjadi konsumen konten-konten pornografi yang ditawarkan beragam media online juga bisa berakibat fatal pada daya pikir mereka. “Efeknya bahkan bisa lebih berbahaya dari narkoba, yakni kerusakan otak secara permanen. Kondisi ini mungkin yang menjadi target dalam misi produsen konten porno untuk menghancurkan generasi penerus,” lanjut Nenden.

Dalam seminar hasil kerjasama Departemen Kriminologi Fisip UI dan Poskotanews.com itu, narasumber lain, Kompol Roberto GM Pasaribu , anggota Polri yang kini tengah menjalin kerjasama dengan Federal Beareu of Investigatian (FBI) dalam kejahatan dunia maya (Cyber Crime) mengungkapkan kalau kehadiran internet juga menjadi sarana untuk melancarkan aksi kejahatan. “Penjualan anak di bawah umur adalah salah satu contoh jenis kejahatan terhadap anak melalui media internet,” ujarnya.

Menurutnya, cara ampuh mengantisipasi anak menjadi korban baik dari segi sebagai konsumen konten porno maupun korban cyber crime adalah perhatian dari keluarga dan sekolah. “Lemahnya perlindungan orangtua atau keluarga serta kekurangpahaman atas informasi teknologi (IT) yang berkembang terkadang menjadi celah bagi anak sehingga menjadi korban dalam dunia internet,” ucap Roberto. (Yahya/angga/b)